23 Februari 2015

PROPOSAL PENELITIAN ( RESEARCH PROPOSAL) HUKUM PIDANA "PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN DENGAN TEKNIK PEMBELIAN NARKOTIKA SECARA TERSELUBUNG (UNDER COVER BUY) DI WILAYAH HUKUM POLRES PELALAWAN"



RESEARCH PROPOSAL
JUDUL PENELITIAN    :PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN DENGAN TEKNIK PEMBELIAN NARKOTIKA SECARA TERSELUBUNG (UNDER COVER BUY) DI WILAYAH HUKUM POLRES PELALAWAN.
PROGRAM STUDI              :ILMU HUKUM
RUANG LINGKUP               :HUKUM PIDANA
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum[1], hal ini berarti setiap individu dalam segi kehidupan manusia yang bertempat tinggal di Indonesia diatur oleh hukum, baik hukum adat maupun hukum yang  di ciptakan oleh pemerintah dan setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama didalam hukum.
Menurut Sudikno Mertokusomo, Bahwa “Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena rangsangannya dari luar hukum”.[2]  Dimana hukum berusaha untuk mengatur serta menyesuaikan kepentingan perorangan dengan kepentingan masyarakat, berusaha untuk mencari keseimbangan antara memberi kebebasan individu.
Meskipun hukum di ciptakan untuk kepentingan umum namun masih saja di langgar oleh sebagian masyarakat, salah satu nya pelanggarannya pada hukum pidana. Pelanggaran atau disebut sebagai “wederrechtelijk”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan hukum.[3] Saat terjadinya pelanggaran pada hukum, pelakasanaan penegakan hukum adalah hal yang penting. Makna hakiki dari penegakan hukum (law enforcement) adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum disisni adalah pemikiran-pemikiran pihak badan pembuat undang-undang yang di rumuskan dalam bentuk peraturan-peraturan hukum yang bakal di terapkan dalam segenap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[4]
Penegakan hukum memuat aspek legalitas dari suatu peraturan yang di terapkan pada setiap orang atau badan hukum dengan adanya perintah, larangan, dan ancaman sanksi pidana yang dapat di kenakan terhadap setiap pelanggar yang terbukti bersalah berdasarkan putusan hakim. Aspek legalitas ini menyebabkan penegakan hukum akan mempunyai kekuatan yang mengikat terhadap setiap perbuatan orang yang melanggar hukum. Dalam konteks sosiologi hukum fase atau tahapan penegakan hukum merupakan tahapan yang sangat penting untuk menentukan apakah hukum itu dapat menjalankan tugasnya dan berfungsi secara efektif atau tidak ,apakah hukum tertulis dapat memberikan rasa adil di tengah-tengah masyarakat ketika hukum itu sudah di terapkan.
Di indonesia penegakan hukum dilakukan pidana dilakukan oleh beberapa institusi. Setiap institusi dalam menegakan hukum tersebut memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Para penegak hukum tersebut adalah polisi, jaksa dan hakim yang mana mereka bekerja untuk mewujudkan suatu keadilah dan kepastian hukum bagi masyarakat. Para penegak hukum baik polisi,jaksa dan hakim memiliki lembaga tersendiri, yang mana setiap lembaga masing-masing melakukan tugasnya berdasarkan hukum acara yang berlaku yakni hukum acara pidana. Pengertian dari hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur bagaimana cara beracara dalam hukum pidana.[5] Penegakan hukum pidana diatur  dalam suatu hukum acara di karenakan penerapan hukum pidana tersebut menyangkut hak-hak asasi manusia (HAM) yang berkisar pada kebebasan manusia itu sendiri, sehingga perlu diatur dan dijamin pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak yang dimiliki oleh setiap masyarakat.
Di dalam hukum acara pidana mengatur mengenai penyidikan. Penyidikan merupakan proses yang paling penting untuk menentukan dapat terbuktinya suatu tindak pidana yang telah di lakukan atau tidak. Penyidikan merupakan suatu penentu awal untuk dapat mengungkap suatu tindak pidana. Di dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No 8 Thun 1981 “tentang Hukum Acara Pidana yang dikenal dengan sebutan KUHAP”[6], dikatakan bahwa salah satu penyidik yang dapat melakukan penyidikan adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sedangkan yang di maksud dengan penyidikan itu sendiri dapat di lihat pada Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dari pengertian diatas kepolisian mempunyai kewenangan untuk melakuka  suatu penyidikan dalam membongkar tindak pidana yang salah satunya adalah tindak pidana narkotika.
Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu dan narkotika merupakan bagian dari narkoba. Secara terminologi dalam kamus besar bahasa indonesia bahwa narkoba adalah obat yang dapat menenangkan syaraf,menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau rasa merangsang. Secara etimologis narkotika berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcosis yang berarti menidurkan. Sedangkan perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu narke yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Sebagian orang berpendapat bahwa narkotika berasal dari kata narcissus yang berarti sejenis tumbuhan-tumbuhan yang dapat menyebabkan orang tidak sadarkan diri.[7]
Menurut Soedjono Dirjosisworo, narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang mengunakan dengan memasukannya kedalam tubuh.[8] Beberapa pengaruh yang dapat di timbulkan berupa bius, hilangnya rasa sakit, halusinasi, berkhayal. Dalam dunia medis hal tersebut dilakukan untuk membantu proses pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain. Penyalahgunaan narkotika adalah pengunaan salah satu atau beberapa jenis narkotika yang dilakukan tanpa aturan kesehatan maupun secara berkala atau teratur sehingga menimbulkan ganguan kesehatan maupun jasmani jiwa dan fungsi sosial.[9]
Menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,membagi narkotika menjadi tiga golongan:
  1. Narkotika Golongan I;
  2. Narkotika Golongan II; dan
  3. Narkotika Golongan III.
Pengertian dari masing-masing golongan narkotika sebagaimana tersebut, terdapat pada penjelasan Pasal 6 ayat (1) sebagai berikut[10]:
  1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan;
  2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan;
  3. Narkotika Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika dapat digunakan dengan adanya pengasawan dan pengendalian, karena narkotika dapat menyebabkan ketergantunggan dimana ketergantungan tersebut dapat menyebabkan ganguan kesehatan dan jasmani bahkan pada tingkat yang lebih berbahaya yakni dapat mengakibatkan kematian. Pemakian diluar pengawasan dan pengendalian ini dinamakan penyalahgunaan narkotika yang akibatnya dapat membahayakan kehidupan manusia baik perorangan maupun masyarakat dan negara.[11] Pemakaian narkotika oleh manusia dapat mengunakan cara dihirup, dihisap, ditelan, atau di suntikan.
Menurut Nailani Muhdi, ada beberapa ciri-ciri kelompok yang pontensial terpengaruh narkotika, yaitu[12] :
  1. Kelompok yang pertama adalah kelompok primair yaitu kelompok yang mengalami kejiwaan. Penyebabnya bisa di karenakan kecemasan, depresi dan ketidakmampuan menerima kenyataan hidup.
  2. Kelompok kedua adalah kelompok skunder, kelompok ini biasanya memiliki kepribadian yang selalu bertentangan denga norma-norma masyarakat. Sifat egosentris sangat kental dalam dirinya. Akibatnya dia melakukan apapun semaunya
  3. Kelompok ketiga adalah kelompok tersier, merupakan kelompok ketergantungan yang bersifat reaktif. Biasanya terjadi pada remaja yang labil dan mudah terpengaruh dengan kondisi lingkungannya. Juga pada mereka yang kebingungan dalam mencari indentitas diri, selain mungkin adanya ancaman dari pihak tertentu untuk mengkonsumsi narkotika.
Setiap penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum dan dapat di kenakan sanksi pidana sebaigaimana diatur dalam Undang-Undang Narkotika. Pengunaan Narkotika menurut pasal 7 Undang-Undang 35 Tahun 2009, menyebutkan bahwa “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.[13]
Dewasa ini penyalahgunaan narkotika tidak lagi merupakan kejahatan tanpa korban (victimless crime), melainkan sudah merupakan kejahatan yang memakan banyak korban dan bencana berkepanjangan kepada seluruh umat manusia di dunia.[14] Kejahatan narkotika merupakan suatu kejahatan yang terorganisisir (organized crime), bahwa kejahatan tersebut mempunyai organisasi dibelakangnya, seperti mafia atau pengedar obat-obatan.[15]  Pada saat ini tidak ada satupun bangsa yang tidak megalami permasalahan mengenai penyalahgunaan narkotika.
Penyalahgunaan narkotika berkaitan erat dengan peredaran gelap dari dunia tindak pidana internasional. Peredaran gelap narkotika semakin marak terjadi. Pada saat ini, narkotika tidak hanya menjadi konsumsi masyarakat di kota besar,akan tetapi bagi masyarakat pedesaan pun narkotika tidak lagi menjadi barang yang langka. Konsumsi narkotika tidak hanya pada kalangan dewasa saja, tetapi di kalangan remaja dan anak di bawah umur pun juga telah mengenal barang terlarang tersebut.
Di indonesia hukum yang mengawasi dan mengendalikan pengunaan narkotika serta menangulangi penyalahgunaan narkotika dan perawatan para korbannya dikenal dengan hukum narkotika.[16] Hukum yang mengatur mengenai narkotika diawali dengan di buatnya Undang-Undang No 9 Tahun 1976, kemudian pengaturan nya diganti dengan Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tentang narkotika yang kemudian di perbaharui dan di ganti lagi menjadi Undang-Undang No 35 Tahun 2009.
Di dalam Undang-Undang No 35 Tahun 2009 diatur mengenai proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan yang diatur pada Pasal 73 sampai dengan 103. Berbicara pemberantasan penyalahgunaan narkotika proses penyidikan merupakan suatu langkah penentu, yakni untuk pengumpulan alat bukti dan pada tahap penyidikan ini lah dapat di ketahui status tersangka sebagai pemakai atau pengedar. Dalam menjalankan proses penyidikan kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN) di berikan wewenang dalam melakukan penyidikan. Dimana kewenangan penyidikan tersebut tertulis dalam Pasal 75 Undang-Undang No 35 Tahun 2009[17] :
1)       Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
2)       Memeriksa orang atau koorporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
3)       Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi
4)       Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
5)       Memeriksa menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
6)       Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
7)       Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
8)       Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika  diseluruh wilayah yuridiksi nasional;
9)       Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;
10)   Melakukan teknik pembelian secara terselubung dan penyerahan dibawah pengawasan;
11)   Memusnakan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
12)   Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribounukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya;
13)   Mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
14)   Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang dan tanaman;
15)   Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat berhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
16)   Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang disita;
17)   Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
18)   Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor Narkotika; dan
19)   Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dari semua kewenangan penyidikan yang diatur, kewenangan untuk melakukan pembelian terselubung yakni pada point ke-10 “melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan”. Teknik pembelian secara terselubung (under cover buy) dilakukan untuk mengungkap kejahatan penyebaran narkoba yang dilakukan oleh bandar-bandar narkoba, jadi dalam teknik ini yang menjadi sasaran yaitu bandar narkoba bukan pemakai. Kata “terselubung” dapat diartikan tersembunyi, dalam hal ini penyidik berpura-pura sebagai pecandu narkotika ataupun sebagai penyalur narkotika.
Berkaitan dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan mengangkat judul “PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN DENGAN TEKNIK PEMBELIAN NARKOTIKA SECARA TERSELUBUNG (UNDER COVER BUY) DI WILAYAH HUKUM POLRES PELALAWAN”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maslah tersebut di atas maka penulis merumuskan suatu rumusan masalah yang akan di bahas dalam tulisan ini, yaitu:
1. Bagaimanakah pelaksanaan proses penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy) di Polres Pelalawan ?
2. Apakah yang menjadi kendala penyidik dalam melaksanakan penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy) di Polres Pelalawan ?

C. Tujuan Dan Mamfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sebuah penelitian yang dilakukan karena adanya masalah yang akan menimbulkan suatu tujuan yang ingin dicapai , adanya tujuan yang ingin dicapai dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk dapat menambah wawasan dan pengetahuan baik kepada peneliti maupun kepada pembaca mengenai pelaksanaan proses penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy).
Tujuan khusus dari pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
  1. Untuk mengetahui pelaksanaan proses penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy) di Polres Pelalawan.
  2. Untuk mengetahui Apa yang menjadi kendala penyidik dalam melaksanakan penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy) di Polres Pelalawan.
2. Manfaat Penelitian
Dengan diadakan nya penelitian ini penulis memperoleh hasil yang dapat dijadikan pengetahuan baru bagi penulis. Adapun manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis, yang akan dijelaskan sebagai berikut.
a.      Mamfaat teoritis, yakni dapat di jadikan sebagai bahan diskusi untuk pembahasan mengenai narkotika dan dapat di jadikan referensi bagi mahasiswa dalam penulisan-penulisan yang terkait dengan narkotika selanjutnya.
b.     Mamfaat praktis, yakni berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam penelitian hukum khususnya mengenai
D. Tinjauan Pustaka
Terhadap suatu peristiwa yang telah dinyatakan sebagai suatu tindak pidana, maka tahap yang selanjutnya adalah melakukan penyidikan untuk mencari tahu siapa pelaku dari tindak pidana tersebut[18]. Berdasarkan Pasal 1 butir 1 KUHAP pejabat yang berwenang melakukan penyidikan adalah Pejabat Polisi Negara atau Pegawai Negeri Sipil yang berwenang melakukan penyidikan berdasarkan KUHAP.[19]
Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan sistem terpadu (integrated criminal justice system), yang diletakan diatas landasan prinsip diferensiasi fungsional diantara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang kepada masing-masing aparat.[20] Perbedaan kewenangan masing-masing aparat penegak hukum ini dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan Pasal 4 sampai Pasal 14 KUHAP. Penyidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya proses pemeriksaan yang dilakukan jaksa. Hal ini disebabkan pada tahap penyidikan inilah proses awal diperiksanya suatu tindak pidana.
Pada Pasal 1 angka 2 KUHAP menyebutkan pengertian penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Menurut ketentuan Pasal  6 ayat (1) huruf a salah satu yang diberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan ialah Pejabat Kepolisian Negara. Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP berbunyi: Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum kepolisian.[21] Setiap pejabat kepolisian yang menjadi penyidik haruslah memenuhi syarat kepangkatan seperti apa yang tertulis dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP, yaitu: Syarat kepangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam sebuah Peraturan Pemerintah dengan tetap menselaraskan dan menyeimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan Penuntut Umum dan Hakim peradilan umum.[22] Syarat yang harus di penuhi untuk menjadi seorang penyidik yaitu[23] :
a.      Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;
b.     Bertugas dibidang penyidikan paling singkat 2(dua) tahun;
c.      Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse criminal;
d.     Sehat dan jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
e.      Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
Berdasarkan ketentuan diatas maka untuk menjadi seorang penyidik kepolisian tidaklah mudah. Dimana selain penyidik berpangkat Inspektur Dua Polisi, juga si penyidik harus memiliki pengalaman 2 tahun dibidang penyidikan. Kemudian penyidik harus mengikuti pendidikan reserse criminal dan yang penting pula, penyidik harus sehat jasmani dan rohani.
Dalam pejabat penyidik Polri dikenal adanya penyidik pembantu. Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PP No 58 Tahun 2010  yang merupakan perubahan PP No 27 Tahun 1983. Menurut ketentuan ini, syarat untuk dapat diangkat menjadi pejabat pembantu yaitu[24] :
a.      Berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;
b.     Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi reserse criminal;
c.      Bertugas dibidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;
d.     Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter;
e.      Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.
Menurut KUHAP penyidikan tidak hanya dapat dilakukan oleh pejabat polisi negara melainkan juga pejabat Pegawai Negeri Sipil(PNS)[25]. Penyidik pegawai negeri sipil adalah mereka yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang[26].  Wewenang khusus yang diberikan kepada pejabat pegawai negeri sipil untuk melakukan penyidikan diberikan oleh sebuah undang-undang khusus,yakni  seperti undang-undang darurat No 7 Tahun 1955 yang memberikan kewenangan kepada pejabat pegawai negeri sipil untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana ekonomi. Pada undang-undang narkotika yaitu undang-undang No 35 Tahun 2009 Pasal 82 ayat (1) yang memuat ketentuan “ pegawai negeri sipil berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan prekursor narkotika.[27]
Penyidik pegawai negeri sipil memiliki batasan kewenangan. Dimana batasan ini diatur pada Pasal 7 ayat (2) KUHAP, berbunyi “ penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumannya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri.
Penyidik Polri memiliki kewenangan yang diatur oleh undang-undang yakni pada Pasal 7 ayat (1) KUHAP, ketentuannya adalah[28]:
a.      Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b.     Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
c.      Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.     Melakukan penangkapan, penahanan, pengegeledahan, dan penyitaan;
e.      Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.      Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g.     Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h.     Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.       Mengadakan penghentian penyidikan;
j.       Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Wewenang penyidik yang diberikan oleh undang-undang sangat luas. Oleh karena itu penyidik berhak mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang asal masih tetap pada ketentuan perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 19 ayat (1).[29] Namun yang perlu diingat bahwa semua tindakan penyidik yang bertujuan untuk mengurangi kebebasan dan hak asasi adalah tindakan yang diletakan pada proporsi demi kepentingan pemeriksaan dan benar-benar sangat diperlukan sekali.[30]  
Penangkapan menurut Pasal 1 butir 20 KUHAP adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam udang-undang ini.
Penyidik dapat mengetahui terjadinya suatu tindak pidana dan melakukan penangkapan melalui dua kemungkinan, yaitu :
1.     Karena adanya laporan atau pengaduan
2.     Tertangkap tangan
Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi tindak pidana.[31] Pengaduan adalah pembritahuan yang disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.[32]
Bentuk laporan atau pengaduan yang disampaikan kepada penyidik dapat dalam bentuk tertulis maupun secara lisan. Dalam hal laporan atau pengaduan tersebut berbentuk tertulis maka harus ditandatangani oleh pelapor/pengadu dan si penerima laporan. Apabila dalam bentuk lisan maka penyidik harus melakukan pencatatan dalam laporan atau pengaduan.[33]
Tertangkap tangan atau heterdaad (ontdekking op heterdaad) seperti yang di jelaskan Pasal 1 butir 19 KUHAP adalah terungkapnya seseorang pada waktu:[34]
a.      Sedang melakukan tindak pidana atau tengah melakukan tindak pidana, pelaku dipergoki oleh orang lain.
b.     Atau dengan cara sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan.
c.      Atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya.
d.     Atau sesaat kemudian pada orang tersebut “ditemukan” benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukan bahwa ia adalah pelakunya.
Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak untuk melakukan penangkapan. Hal ini tertulis pada Pasal 111 KUHAP.[35] Setelah melakukan penangkapan ada ketentuan yang harus diikuti, yaitu harus menyerahkan tertangkap beserta alat bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 18 ayat (2) KUHAP.
Untuk kepentingan proses penyidikan, penyidik dapat melakukan pengledahan rumah atau pengledahan pakaian dan pengledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang hukum acara pidana.[36] Pengledahan dapat dilakukan tanpa adanya surat izin ketua Pengadilan Negeri,hal ini disebabkan karena adanya keadaan yang mendesak sehingga tidak dimungkinkan untuk mendapatkan izin terlebih dahulu. Pengledahan hanya dapat dilakukan di tempat yang telah ditentukan pada Pasal 34 KUHAP, yaitu [37]:
a.      Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam, atau yang ada diatasnya.
b.     Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada.
c.      Ditempat tindak pidana yang dilakukan atau terdapat bekasnya.
d.     Ditempat penginapan dan ditempat umum lainnya.
Pengledahan bertujuan untuk mendapatkan barang bukti, yaitu alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan.[38] Alat bukti tersebut dapat disita, ketentuan penyitaan ini terdapat pada Pasal 38 KUHAP.
Dalam melakukan penangkapan harus disertai dengan surat perintah  penangkapan. Apabila tidak adanya surat perintah penangkapan,maka tersangka berhak menolak untuk mematuhi perintah penangkapan. Hal ini dikarenakan sudah menjadi suatu prosedur dalam penangkapan. Berbeda dengan tertangkap tangan, tidak memerlukan adanya surat perintah penangkapan, dengan tetap memperhatikan Pasal 18 ayat (2) KUHAP.
Setelah dilakukan penangkapan maka tahap selanjutnya yaitu penahanan. Penahanan menurut Pasal 1 butir 21 adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik, atau  penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-udang ini. Untuk melakukan penahanan, pejabat yang berwenang adalah penyidik sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) KUHAP. Jenis penahanan menurut Pasal 22 KUHAP yaitu :
a.      Penahanan Rumah Tahanan Negara
b.     Penahanan Rumah
c.      Penahanan Kota
Penghentian penyidikan dapat dilakukan dalam hal tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
Wewenang penyidik harus dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan, karena pada proses penyidikan diarahkan untuk mendapatkan bukti yang mengakibatkan tersangka dapat dituntut dan dihukum. Namun tidak jarang terjadi dalam proses peradilan pidana, penyidikan yang dilakukan berakhir dengan pembebasan tersangka. Pembebasan disini tidak didasarkan pada kurangnya alat bukti, namun terdapat kepentingan pribadi dari penyidik. Hal ini dapat merusak citra kepolisian di dalam masyarakat, skolnick mengatakan bahwa :
“Seringkali tujuan polisi ialah supaya hampir semua tersangka yang ditahan, dituntut, diadili dan dipidana dan menurut pandangan polisi setiap kegagalan penuntutuan dan pemidanaan merusak kewibaannya dalam masyarakat. Penuntut umum pun tak mampu menuntut, manakala polisi memperkosa hak-hak tersangka dalam proses, karena perkosaan yang demikian mengakibatkan bebasnya perkara itu di pengadilan”.[39]
Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik harus memiliki pengetahuan yang mendukung karena pelaksanaan pernyidikan bertujuan untuk memperoleh kebenaran yang lengkap. Ada berberapa ilmu pengetahuan yang harus dikuasai untuk membantu menemukan kebenaran material, antara lain: logika psikologi, kriminalistik, psikiatri, dan kriminologi.[40]            
E. Konsep Operasional
Agar permasalahan yang diteliti lebih jelas dan untuk menghindari kesalahan dan kerancuan dalam pengertian judul maka penulis menganggap perlu untuk memberikan batasan-batasan dari pengertian dan istilah-istilah judul yang dimaksud.
Pelaksanaan adalah orang yang mengerjakan atau melakukan rencana yang telah disusun (perbuatan, usaha) melaksanakan rancangan.[41] Dalam hal ini perbuatan untuk melaksanakan proses penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy) di wilayah hukum polres pelalawan.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.[42] Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub dari pada fungsi penyidikan yang mendahulukan tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, pengeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.[43]
Teknik pembelian narkotika secara terselubung adalah suatu teknik penyamaran sebagai calon pembeli (under cover buy) yang dilakukan untuk mendapatkan bahan keterangan atau informasi.[44]
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan salah satu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistimatis, dan konsisten.[45] Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistimatis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.[46] Oleh karnanya penelitian hukum itu harus berdasarkan suatu metode, maka dalam hal ini akan diuraikan metode yang di pakai dalam penelitian ini.
  1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian observasi (observational research) dengan cara survey. Artinya penulis akan turun langsung ke lapangan untuk memperoleh informasi dan data mengenai pelaksanaan proses penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy) di wilayah hukum Polres Pelalawan.
Sedangkan apabila ditinjau dari sifat penelitiannya, maka penelitian ini di kategorikan penelitian yang bersifat deskriptif analtis, yaitu untuk memberikan gambaran yang selengkap-lengkapnya tentang norma-norma penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika dan kendala yang di hadapi oleh penyidik dalam melaksanakan penyidikan dengan teknik pembelian narkotika secara terselubung (under cover buy).
  1. Lokasi Penelitian
Dalam rangka pelaksanaan penelitian untuk memperoleh data yang diperlukan, maka penelitian dilakukan di wilayah hukum Polres Pelalawan. Lokasi penelitian ini dipilih karena di wilayah Kabupaten Pelalawan terdapat suatu kejahatan narkotika.
  1. Populasi dan Responden
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama.[47] Populasi dan responden dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis ini adalah beberapa pihak, antara lain sebagai berikut :




Tabel 1
Populasi dan Responden
NO
RESPONDEN
KETERANGAN
1
2
Kasat Reserse Narkoba
Anggota Reserse Narkoba
1
3
Jumlah
4

Jumlah Populasi yang yang relatif sedikit, maka metode penelitian ini mengunkan metode sensus, sehingga memungkinkan peneliti mengunakan populasi secara keseluruhan sebagai responden.
  1. Data dan Sumber Data
Sebagai sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri atas dua macam, yaitu sebagai berikut:
a.        Data primer adalah data utama yang diperoleh penulis secara langsung dari wawancara dengan responden, yaitu Kepolisian di wilayah Polres Pelalawan.
b.       Data skunder adalah data yang diperoleh penulis dari buku-buku literatur, undang-undang, dan media internet yang memiliki hubungan dengan judul dan masalah pokok dalam penelitian ini.


  1. Alat Pengumpul Data
Dalam penelitian ini, alat pengumpul data yang penulis gunakan adalah wawancara. Wawancara adalah proses pengumpulan data yang dilakukan secara langsung oleh penulis dengan responden untuk memperoleh informasi yang benar.
  1. Analisis Data
Penulis mengunakan data wawancara, dan selanjutkan diolah dan dikumpulkan menjadi satu data-data dilapangan kemudian disajikan dan dibandingkan dengan pendapat para ahli dan peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan judul dan masalah pokok penelitian.
  1. Metode Penarikan Kesimpulan
Metode penarikan kesimpulan yang digunakan adalah metode deduktif, yaitu dari suatu hal yang bersifat umum ke arah yang bersifat khusus.







G. Sistimatiaka Penulisan
Sistimatika usulan penulisan skripsi adalah sebagai berikut:       
BAB I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.    Perumusan Masalah
C.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
D.    Tinjauan Pustaka
E.     Konsep Operasional
F.     Metode Penelitian
BAB II TINJAUAN UMUM
A.    Tindak Pidana Narkotika dan Pengaturannya
B.     Tinjauan Tentang Wilayah Hukum Polres Pelalawan
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.    Pelaksanaan Proses Penyidikan Dengan Teknik Pembelian Narkotika Secara Terselubung (under cover buy) di Polres Pelalawan.
B.    Kendala Penyidik Dalam Melaksanakan Penyidikan Dengan Teknik Pembelian Narkotika Secara Terselubung (under cover buy) di Polres Pelalawan
BAB IV PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.    Saran

DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Buku-Buku
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia,    Jakarta,1983.
AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor   35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika,2011.
A. Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam praktek,cet 1, Pustaka Kartini,1990.
Badan Narkotika Nasional, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba bagi Pemuda, Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2011.
Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005.
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung, PT Alumni, 2007.
Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi Sebuah Bunga Serampai, Bandung:Alumni, 2009.
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bandung:Mandar Maju, 2001.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Ed.2, Jakarta:Sinar Grafika, 2005.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, 1985.
Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, cet.1, Bandung : Alumni,1987.
____________, Anatomi Kejahatan di Indonesia, Granesia Bandung. 1996.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
W.JS Poerwadarmita, Kamus umum bahasa Indonesia, Arkola, Surabaya, 1986.
2. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (amandemen ke-4)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Tindak Pidana Narkotika
Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manejemen Penyidikan Tindak Pidana.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983.

3.Situs Internet




[1] Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
[2]Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 1985, hlm.40.
[3]Moeljatno, Azaz-Azaz Hukum Pidana, Bina Aksara, hlm. 71.
[4]Sajipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Sinar Baru, hlm. 15.
[5] A. Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam praktek,cet 1, Pustaka Kartini,1990, hlm.9.
[6] Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana: penyidik adalah : a. Pejabat Polisi Republik Indonesia,b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
[7] Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm.35.
[8]Soedjono Dirjosisworo, Hukum Narkotika Indonesia, cet.1, Bandung : Alumni,1987, hlm.3.
[9] www.inspirasi.com, diakses pada tanggal 8 febuari 2014.
[10] AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika,2011,hlm.72.
[11]Soedjono Dirjosisworo, Loc. Cit.
[12] Hari Sasangka, Op. Cit., hlm.10.
[13]Pasal 7, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
[14] Badan Narkotika Nasional, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba bagi Pemuda, Jakarta: Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2011., hlm.4.
[15] Soedjono Dirdjosisworo, Anatomi Kejahatan di Indonesia, Granesia Bandung. 1996., hlm.171.
[16] Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam hukum pidana (untuk mahasiswa dan praktisi serta penyuluh masalah narkoba), Op.Cit., hlm.4.
[17]  Pasal 75, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
[18] Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana Dan Kriminologi Sebuah Bunga Serampai, Bandung:Alumni, 2009, hlm.,41.
[19] Pasal 1 butir 1, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[20] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Ed.2, Jakarta:Sinar Grafika, 2005, hlm.90.
[21]Pasal 1 butir 3, Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002.
[22]Penjelasan Pasal 6 ayat (2), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[23] Pasal 2A ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010.
[24] Pasal 3 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010.
[25] Pasal 6  ayat (1) huruf b, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
[26] M. Yahya Harahap, Loc. Cit.
[27] Pasal 82 ayat (1), Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
[28] Pasal 7 ayat (1), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[29] Pasal 19 ayat (1), Undang-undang No 2 Tahun 2002: “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat kepolisian Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjungjung tinggi hak asasi manusia”.
[30] M.Yahya Harahap, Op. Cit.,hlm.157.
[31] Pasal 1 butir 24, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[32] Pasal 1 butir 25, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[33] M.Yahya Harahap, Op. Cit., hlm.119-120.
[34] Ibid.,hlm.120-121.
[35]Pasal 111, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana: “Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik”.
[36] Pasal 32, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[37] Pasal 34, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[38] Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Bandung:Mandar Maju, 2001,hlm.87.
[39] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,1983.hlm.34-36.
[40] Ibid.
[41] W.JS Poerwadarmita, Kamus umum bahasa Indonesia, Arkola, Surabaya, 1986,hlm.553.
[42]Pasal 1 angka 2, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[43] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Bandung, PT Alumni, 2007, hlm. 55.
[44] Lihat Pasal 24 bagian (f), Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manejemen Penyidikan Tindak Pidana.
[45]  Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986, hlm.42.
[46]  Ibid.
[47] Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hlm.118.



Untuk Skripsi bisa email di pinussinaga@gmail.com